Hukum Keledai Liar

وَعَنْهُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: «لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَبَا طَلْحَةَ، فَنَادَى إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، فَإِنَّهَا رِجْسٌ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dan darinya [Anas bin Malik] berkata, Tatkala hari perang Khaibar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan Abu Thalhah lalu menyeru “ Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari daging keledai piaraan,sebab ia najis “[ Muttafaqun ‘Alaihi]
1.Takhrij Hadits:
Dikeluarkan oleh imam Bukhari [5528],Muslim [1940],an Nasa’iy [7/204],Ahmad [3/111],al Baihaqiy [9/331], ath Thahawiy dalam Musykilul Atsar [4/205] semuanya dari jalur Sufyan bin ‘Uyainah dari Ayub dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik berkata……
2.Makna Lafadz-Lafadz Musykil:
يَوْمُ خَيْبَر = hari perang Khaibar.Khaibar adalah tempat yang merupakan benteng dan ladang tempat bercocok tanam orang-orang Yahudi.Jaraknya dengan kota Madinah kurang lebih 100 mil. Perang Khaibar terjadi pada tahun 7 hijriyah.
فَنَادَى = Lalu menyeru.Nida’ adalah seruan dengan suara yang tinggi dan dari jarak yang jauh.
يَنْهَيَانِكُمْ = melarang kalian.Larangan = tuntutan untuk meninggalkan sesuatu baik bersifat haram ataupun makruh.
3.Faedah dan Kandungan Hukum:
A.Daging keledai piaraan adalah haram
B.Semua rijs [najis] adalah haram.
Hal ini karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menjelaskan bahwa illat diharamkannya keledai adalah karena ia najis [rijs]
C.Keledai liar hukumnya adalah halal lagi suci
Karena berpegang kepada asal dari segala sesuatu yaitu halal lagi suci , berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مِّنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لَّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ |
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. [Q.S.Al Jatsiyah:13] |
Faedah:
Apa hukum air liur keledai piaraan ?
Para ulama’ berselisih pendapat dalam masalah ini:
1.Hukumnya adalah najis
Ini adalah madzhab imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur darinya.
Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik yang telah berlalu penyebutannya pada no:24.
2.Hukumnya adalah suci
Ini adalah madzhab imam Malik dan Syafi’iy dan salah satu riwayat dari imam Ahmad
Dalilnya adalah:
1.Asal segala sesuatu adalah suci
2.Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat mengendarai keledai dan tidaklah dinukil dari mereka bahwasanya mereka menjaga diri dari badan dan liurnya dan lain-lainnya seperti keringat,ludah,liur dan ingus ataupun air sisa minumnya.
3.Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mengatakan tentang kucing dan alasan tidak najisnya:
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ
“ Sesungguhnya ia tidaklah najis.Hanyasaja ia termasuk binatang yang bergaul dengan kalian”.
Dan sebab adanya hukum ini [illat] dijumpai pada keledai bahkan lebih banyak dibandingkan dengan kucing.
- Kaedah ushul:
المشقة تجلب التيسير
” Kesulitan membawa kemudahan”
Yakni tatkala daging keledai diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan karena termasuk sesuatu yang rijs [najis], Allah dan Rasul-Nya memberikan keringanan hukum pada air liurnya dan juga badannya karena keledai adalah binatang yang banyak bergaul dengan manusia sebagaimana kucing dan juga tikus.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah dalam al Mughniy:
وَالصَّحِيحُ عِنْدِي: طَهَارَةُ الْبَغْلِ وَالْحِمَارِ
“ Yang shahih di sisiku adalah sucinya bighal dan keledai” [al Mughiny:1/37]
Al Mardawiy kitab al inshaf mengatakan:
وَعَنْهُ طَهَارَةُ الْبَغْلِ وَالْحِمَارِ اخْتَارَهَا الْمُصَنِّفُ. قُلْت: وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَالْأَقْوَى دَلِيلًا.
“ Dan diriwayatkan dari imam Ahmad sucinya bighal dan keledai dan inilah yang dipilih oleh pengarang [Ibnu Qudamah al Maqdisy dalam al Muqni’]. Saya katakana [Al Mardawiy]: pendapat tersebut adalah pendapat yang shahih dan lebih kuat dalilnya” [al Inshaf Fi : 1/342]
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnul Qayim,syaikh Muhammad bin Ibrahim dan syaikh Abdurrahman as Sa’diy sebagaimana disebutkan oleh syaikh al Basam dalam Taudhihul Ahkam min Bulughul Maram [1/199-200]
Wallahu a’lam bis shawab….
Ditulis oleh hamba Allah:
Abu Qushaiy al Anwar
Bersyukur, Jangan Kufur Kawanku…!