Hukum Menambal Bejana Dengan Perak

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: «أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – انْكَسَرَ، فَاِتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سَلْسَلَةً مِنْ فِضَّةٍ» . أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ
“ Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya bejana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pecah lalu beliau menjadikan patri dari perak pada tempat yang pecah”.
1.Takhrij Hadits:
Dikeluarkan oleh imam Bukhari [5638]
2.Makna Lafadz-lafadz Musykil:
قَدَحَ = Bejana yang dipergunakan untuk minum dan selainnya
الشَّعْبِ = pecah
سَلْسَلَةً = kawat dari besi yang digunakan untuk menggandengkan dua sisi yang pecah [patri].
3.Faedah dan Kandungan Hukum:
A.Bolehnya menambal atau mematri bejana yang pecah dengan menggunakan patri dari perak.
Dalam masalah ini para ulama’ berselisih pendapat menjadi beberapa pendapat:
1.Pendapat yang masyhur dari ulama’ Hambaliyah
Dikecualikan dari pengharaman mengambil dan menggunakan bejana dari emas dan perak satu keadaan saja yaitu: patri atau tambalan ringan untuk menambal atau memperbaiki bejana yang pecah.
Pengecualian ini adalah berdasarkan riwayat Anas bin Malik:
أن قدح النبي – صلى الله عليه وسلم – انكسر فاتخذ مكان الشعب سلسلة من فضة
“ Sesungguhnya telah pecah bejana Nabi lalu Nabi menambal/mematrinya dengan patri dari perak”[H.R.Bukhari:]
Ini adalah pendapat yang masyhur dari ulama’ Hambaliyah.
2.Pendapat syaikhul islam Ibnu Taimiyah
Diperbolehkan ketika ada hajat dan selainnya dan ini adalah pendapat yang lain dalam madzhab imam Ahmad
3.Pendapat imam Malik
Tidak diperbolehkan walaupun sekedar tambalan atau patrian
Dan ini adalah pendapat Laits dan sekelompok ulama sahabat dan tabi’in.
Alasannya adalah karena yang menambal bejana adalah Anas bin Malik bukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan perbuatan Anas bukanlah hujjah karena diselisihi oleh sahabat yang lain yaitu Ibnu Umar. Imam al Baihaqiy telah meriwayatkan dari Ibnu Umar:
أنه كان لا يشرب من إناء فيه حلقة فضة ، أو ضبة فضة
“ Sesungguhnya beliau tidak minum dari bejana yang di dalamnya terdapat lingkaran dari perak atau patri dari perak”
Pendapat yang kuat:
Yaitu pendapat pertama karena kuatnya argumentasinya.
Adapun pendapat yang mengatakan tidak bolehnya memakai bejana yang dipatri dengan emas atau perak dengan berargumentasi bahwa Anas yang mematri bejana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam , maka jelaskan duduk perkaranya oleh imam Ash Shan’aniy dengan argumentasi berikut:
وَهُوَ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ الضَّمِيرُ فِي قَوْلِهِ فَسَلْسَلَهُ بِفِضَّةٍ عَائِدًا إلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ عَائِدًا إلَى أَنَسٍ كَمَا قَالَ الْبَيْهَقِيُّ، إلَّا أَنَّ آخِرَ الْحَدِيثِ يَدُلُّ لِلْأَوَّلِ، وَأَنَّ الْقَدَحَ لَمْ يَتَغَيَّرْ عَمَّا كَانَ عَلَيْهِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. قُلْت: وَالسِّلْسِلَةُ غَيْرُ الْحَلْقَةِ الَّتِي أَرَادَ ” أَنَسٌ ” تَغْيِيرَهَا، فَالظَّاهِرُ أَنَّ قَوْلَهُ: فَسَلْسَلَهُ، هُوَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَهُوَ حُجَّةٌ لِمَا ذَكَرَهُ.
“ Dhamir [kata ganti] dalam perkataannya “ Lalu beliau mematrinya dengan perak” mengandung kemungkinan kembali kepada Rasulullah dan mengandung kemungkinan kembali kepada Anas sebagaimana yang dikatakan oleh imam al Baihaqiy.Namun, akhir hadits menunjukkan kepada kemungkinan pertama.Dan bahwasanya bejananya tidaklah berubah dari keadaannya pada zaman Nabi.
Saya katakana [Ash shan’aniy]: Patri [salsalah] bukanlah halqah [lingkaran] yang dikehendaki oleh Anas untuk dirubah.
Maka yang dhahir, perkataan mematrinya, yang mematri adalah Rasulullah dan ia adalah hujjah bagi kami “[Subulus Salam:1/47]
Asy Syaukaniy menjelaskan masalah ini dalam Naiulul Authar dengan menukil perkataan al Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:
وَحَكَى الْبَيْهَقِيُّ عَنْ مُوسَى بْنِ هَارُونَ أَوْ غَيْرِهِ أَنَّ الَّذِي جَعَلَ السِّلْسِلَةَ هُوَ أَنَسُ؛ لِأَنَّ لَفْظَهُ ” فَجَعَلْتُ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً ” وَجَزَمَ بِذَلِكَ ابْنُ الصَّلَاحِ. قَالَ الْحَافِظُ: وَفِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ فِي الْخَبَرِ عِنْدَ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَاصِمٍ قَالَ: وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: إنَّهُ كَانَ فِيهِ حَلْقَةٌ مِنْ حَدِيدٍ فَأَرَادَ أَنَسٌ أَنْ يَجْعَلَ مَكَانَهَا حَلْقَةً مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ فَقَالَ لَهُ أَبُو طَلْحَةَ: لَا تُغَيِّرْ شَيْئًا صَنَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يُغَيِّرْ شَيْئًا
Al Baihaqiy menghikayatkan dari Musa bin Harun atau selainnya bahwasanya yang menambal/mematri adalah Anas karena lafadz haditsnya adalah maka saya menjadikan patri pada tempat pecahannya.Dan Ibnu Shalah memastikan hal tersebut.Berkata al Hafidz [Ibnu Hajar]: Di dalamnya terdapat kritikan karena riwayat yang diriwayatkan al Bukhari dari ‘Ashim, beliau berkata, Ibnu Sirin mengatakan: Sesungguhnya di dalamnya terdapat lingkaran dari besi lalu Anas berkehendak untuk menggantinya dengan lingkaran dari emas atau perak.Maka Abu Thalhah berkata: Janganlah engkau merubah sesuatupun yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengerjakannya.Ini menunjukkan bahwasanya Anas sama sekali tidak merubahnya. [Nailul authar:1/93]
1.Bolehnya minum dan selainnya melalui tempat bejana yang terpatri
Sebagian ahli ilmu mengatakan dimakruhkan bersentuhan dengan patrinya secara langsung dengan tanpa adanya hajat
Mereka memberikan ta’lil [sebab terjadinya hukum] bahwasanya apabila bibirnya bersentuhan langsung dengan tempat yang dipatri maka berarti menggunakan bejana dari perak untuk minum dan ini makruh hukumnya kecuali apabila ada hajat semisal tidak dapat minum kecuali melalui sisi bejana yang dipatri.
Sebagian ulama’ yang lain mengatakan mubah dengan alasan:
1.Karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan minum melalui sisi bejana yang dipatri secara langsung.Dan memakruhkan sesuatu membutuhkan dalil yang shahih.
2.Dhahir hadits Anas menunjukkan bolehnya menggunakan bejana yang dipatri dengan perak untuk digunakan untuk minum dan tidak ada pengecualian larangan minum dengan bersentuhan secara langsung dengan tempat yang dipatri.
3.Tidak ada nukilan yang menyatakan bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam menjaga dirinya dari minum melalui sisi bejana yang dipatri dengan perak.
Pendapat yang kuat:
Yaitu boleh minum melalui bejana yang dipatri dengan perak walaupun bersentuhan langsung dengan tempat bejana yang dipatri karena tidak ada dalil yang melarangnya [Lihat Syarh Mumti’:1/82,syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin]
Wallahu a’lam bish shawab
Ditulis oleh hamba Allah:
Abu Qushaiy al Anwar
Bersyukur, Jangan Kufur Kawanku…!